RAKYAT NEWS, JAKARTA – Teknologi yang semakin canggih dan berkembang pesat telah memberikan ancaman serius terhadap pekerjaan manusia dengan adanya otomatisasi. Salah satu contohnya terjadi di China, dimana profesi sopir mulai tergeser oleh kehadiran robotaxi.

Fenomena ini merambah di China, dimana negara yang dipimpin oleh Xi Jinping ini mulai mengadopsi teknologi robotaxi, yaitu taksi tanpa sopir.

Contohnya adalah Liu Yi (36 tahun), seorang sopir online yang dulunya bekerja sebagai pekerja konstruksi. Ia kini merasa khawatir akan kehilangan pekerjaannya karena semakin banyak taksi tanpa sopir di China.

Sebelumnya bekerja sebagai pekerja konstruksi, namun saat industri properti mengalami lesu dengan banyaknya apartemen yang tak kunjung laku, Yi kembali menghadapi krisis baru. Ia melihat banyak taksi tanpa sopir beroperasi di area tempat ia mencari nafkah.

“Semua orang akan kelaparan,” kata dia, dikutip dari Reuters, Kamis (8/8/2024).

Robotaxi yang populer di China, seperti Apollo Go milik perusahaan teknologi Baidu, telah mulai mendominasi jalan-jalan. Namun, penggunaan teknologi ini menimbulkan kekhawatiran akan nasib profesi sopir taksi dan ride-hailing.

Teknologi taxi tanpa awak (self-driving) masih dalam tahap eksperimen di banyak negara, tetapi di China perkembangannya sudah sangat agresif dan dampaknya telah terlihat.

Pemerintah China telah memberikan izin untuk uji coba taksi tanpa awak. Berbeda dengan Amerika Serikat yang masih fokus pada investigasi dan perizinan karena banyak kecelakaan yang disebabkan oleh kendaraan tanpa sopir.

Menurut laporan Reuters, saat ini sudah ada 19 kota di China yang telah menerapkan uji coba robotaxi dan robobus. Beberapa perusahaan yang memimpin teknologi ini termasuk Apollo Go, Pony.ai, WeRide, AutoX, dan SAIC Motor.

Apollo Go berencana untuk mengoperasikan 1.000 robotaxi di Wuhan pada akhir tahun ini dan ingin berkembang ke 100 kota pada tahun 2030.

Pony.ai, yang didukung oleh Toyota Motor dari Jepang, saat ini mengoperasikan 300 robotaxi. Perusahaan tersebut berencana untuk mengoperasikan 1.000 robotaxi pada tahun 2026.

Vice President Pony.ai menyatakan bahwa robotaxi membutuhkan waktu 5 tahun untuk mencapai profitabilitas yang berkelanjutan, setelah itu perusahaan akan berkembang secara masif.

WeRide dikenal sebagai perusahaan yang mengoperasikan taksi otomatis, bus, dan kendaraan penyapu jalan. Sementara AutoX, yang didukung oleh Alibaba Group, telah beroperasi di Beijing dan Shangai. Sedangkan SAIC sudah mengoperasikan robotaxi sejak akhir tahun 2021.

“Kami melihat adanya percepatan di China. Kini percepatan itu digenjot dengan penerbitan izin,” kata Managing Director Boston Consulting Group, Augustin Wegscheider.

“AS bersikap lebih bertahap untuk penerapan taksi otomatis,” kata dia.

Waymo, yang merupakan anak perusahaan dari Alphabet, adalah satu-satunya perusahaan yang mengoperasikan robotaxi di AS. Saat ini, perusahaan tersebut telah memiliki 1.000 kendaraan di San Francisco, Los Angeles, dan Phoenix.

Sumber mengatakan bahwa perusahaan tersebut berencana untuk memperluas operasionalnya dengan ribuan kendaraan dalam waktu dekat.

Cruise, yang didukung oleh General Motors, mengulangi uji coba pada bulan April setelah salah satu kendaraan menabrak pejalan kaki pada tahun sebelumnya.

Cruise menyatakan bahwa operasional mereka akan difokuskan pada tiga kota dan sangat memprioritaskan keamanan. Sementara Waymo tidak memberikan tanggapan terkait fenomena ini.

“Ada perbedaan signifikan soal keamanan di China dan AS. Pengembang robotaxi dicerca masalah keamanan yang lebih tinggi di AS,” kata mantan CEO Waymo John Krafcik.

Secara keseluruhan, robotaxi juga menghadapi isu keamanan di China, namun otoritas lebih fleksibel dalam memberikan izin uji coba demi mendukung tujuan ekonomi. China memiliki 7 juta sopir online yang terdaftar, jumlah tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan 4,4 juta dua tahun yang lalu.

Data menunjukkan bahwa banyak orang beralih profesi menjadi sopir online di tengah kesulitan lapangan kerja akibat kelesuan ekonomi. Dampak dari robotaxi menimbulkan kekhawatiran baru bagi para pekerja tersebut.

Pada bulan Juli, pertanyaan tentang kehilangan pekerjaan akibat robotaxi menjadi viral di media sosial. Banyak yang bertanya apakah kendaraan tanpa awak akan mengancam pekerjaan para sopir taksi.

Liu dan sopir online lainnya juga khawatir tentang masuknya sistem Full Self-Driving (FSD) milik Tesla ke China. Sedangkan Wang Guoqiang (63 tahun) melihat ancaman besar dari inovasi teknologi ini.

“Ride-hailing adalah pekerjaan untuk kelas bawah,” kata dia.

“Jika Anda membunuh industri ini. Apa yang tersisa bagi kami?” ia bertanya.

Para pakar ekonomi menyatakan bahwa meskipun pekerjaan otomatisasi akan berdampak positif bagi ekonomi China dalam jangka panjang, namun inovasi harus mempertimbangkan dampak disrupsi terhadap masyarakat.

“Pada jangka pendek, harus ada keseimbangan antara kecepatan inovasi, penciptaan lapangan kerja baru, dan kehancuran pekerjaan lama,” kata Tang Yao, associate professor ekonomi di Peking University.

“Kita tidak perlu selalu mengejar kecepatan, karena kita sudah memimpin,” ujarnya.