Refleksi Sumpah Pemuda : Pemuda, Dimana Sumpahnya?
Kini sejarah tinggallah tuturan peristiwa, ikrar pemuda yang dulu dikoar-koarkankan sebagai pemicu semangat kolektifitas, pembaharuan, perjuangan serta persatuan juga tinggalah sebagai warisan pusaka.
Pemuda sebagai pelukis sejarah, dalam sumpahnya pernah mengakui tentang adanya kesamaan juang demi tanah air indonesia. Namun Kondisi anyar berucap lain, pemuda yang dulu dikenal sebagai lakon utama dalam sebuah perubahan, sebagai tiang pergerakan kini ditimpa oleh sikap sentimental antar sesamanya. Semangat kolektifitas dalam merubah tak lagi tersua, pemuda kini tak lagi serentak dalam irama perjuangan. Begitu banyaknya organisasi kepemudaan dengan bentuknya yang variatif pada dasarnya merupakan suatu wadah perjuangan, namun nyatanya jika melihat kondisi mutakhir justru hanya menciptakan berbagai sentimen gerakan, ketidaksenangan yang melebih antar sesama bahkan reaksi-reaksi yang tidak menguntungkan atau saling menjatuhkan. Selain itu pula, beragamnya tipe dan karakter pemuda terkhusus dikalangan mahasiswa yang disebabkan oleh fenomena neoliberal juga sangat mencederai ikrar pemuda yang pernah dilantunkan pada masa silam. Tak jarang ditemukan Pemuda yang lebih cenderung diam/pasif, tidak banyak berbuat, lebih apatis bahkan hedonistis dan lebih mempertahankan kenyamanan yang dirasakan. Padahal baik dalam situasi banyak permasalahan ataupun kondisi tanpa masalah serius, pemuda dituntut lebih banyak bergerak dalam membuat perubahan yang lebih baik (agen of change), serta lebih produktif dan lebih kreatif dalam memikirkan gagasan-gagasan perubahan untuk bangsa dan negeri yang lebih baik. Ini adalah beban dan resiko yang harus ditanggung akibat Tataran moral, sosial dan akademik pemuda yang tidak lagi memberikan contoh dan keteladanan yang santun kepada masyarakat sebagai kaum terpelajar.
Pemuda sebagai pencetus sejarah, dalam sumpahnya pernah mengakui tentang bangsa yang satu. Itu dulu, entah karena persoalan ketimpangan sosial yang jelas gagasan atau wawasan kebangsaan yang minim merupakan salah satu unsur penyebab krisisnya budi pekerti maupun akhlak dan susila. Bagaimana tidak, begitu maraknya konflik horizontal dikalangan masyarakat yang didominasi oleh antar kelompok pemuda bahkan sudah sangat lazim ditemu. Tentu fenomena-fenomena riskan yang seperti ini sangat tidak mencerminakan semangat persatuan nasional dan menjadikan masa depan yang suram terhadap Bhineka Tunggal Ika.
Tinggalkan Balasan Batalkan balasan