Lanjut Arief, menungkapkan bahwa pertimbangan memilih bahan bakar itu sebetulnya krusial, lebih baik menambah sedikit rupiah demi kualitas jangka panjang kendaraan.

“Misal kita pilih premium. Saat ini kita hemat, hemat diawal tapi boros di akhir. Lebih baik kita sedikit menambah rupiahnya tapi kualitas kita dapat jangka panjang,” terangnya.

Selain itu, Arief membeberkan bahwa pabrikan kendaraan produksi tahun 2000an ke atas memiliki mesin yang berbeda dengan kendaraan produksi dulu. Begitupun jenis bahan bakar yang cocok bagi kendaraan yang saat ini merekomendasikan penggunaan bahan bakar tanpa timbal dengan minimal RON 91 yang tertera di spesifikasi kendaraan.

Arief menambahkan, bahwa penggunaan bahan bakar dengan oktan yang lebih rendah rupanya bisa membuat kendaraan kita lebih boros.

“Dalam 1 liter yang sama dan kondisi rute luar kota pada perjalanan bebas hambatan, penggunaan Premium (Oktan 88) hanya mampu menjangkau 15 km per liter, sedangkan Pertamax (Oktan 92) bisa 20 km per liter untuk mesin kendaraan 1.500 cc. Ini akibat pembakaran dalam mesin lebih sempurna,” ujar Arief.

Menurut Arief, ada beberapa titik atas dalam ruang pembakaran bahan bakar. Piston seharusnya sisa 10,3 derajat dari titik atas, yaitu hampir mendekati titik atas, bahan bakar baru boleh meledak. Itulah kondisi ideal agar saat piston bergerak ke bawah dapat menghasilkan tenaga untuk kendaraan.

“Kalau pakai bahan bakar oktan rendah (Premium) karena meledak duluan, piston baru bergerak belum sampai titik atasnya, sudah disuruh mundur. Itulah yang membuat kenapa kita pakai bensin boros,” ungkap Arief.

Demikian dikarenakan bahan bakar belum waktunya terbakar, akan tetapi kenyataannya penggunaan BBM Oktan Rendah belum sampai ke atas, pistonnya sudah terbakar.